Ambulan Desaku Jaman Dulu…

Membaca komentar pak Agus ketika menanggapi cerita kematian bayi di tulisan terdahulu, terselip kata ANGSI, Angkutan Sayang Ibu. Ndak tau itu apakah singkatan resmi, dari mana atau oleh siapa, kebetulan saya sendiri baru mendengar dari beliau. Maklum biasanya bergaul dengan begin..end,if…then, repeat until, do while, procedure dan teman-temannya di bahasa pascal. Saya juga tidak tahu kenapa tidak disingkat ASI saja supaya paralel ngetopnya.
Istilah yang saya kenal untuk kesiapan angkutan ibu hamil adalah Ambulan Desa. Tapi apapun itu, saya jadi teringat dan mengenang kembali pekerjaan bapak ibu di kampung dulu, yang kebetulan juga tidak jauh dari kegiatan antar mengantar itu. Mohon maaf kalau cerita nanti mungkin agak nyeleweng dikit dari Simpus, tp pasti nanti ada hubungannya, kalau perlu gimana caranya ada hubungan antara Simpus dengan Ambulans Desa alias ANGSI.

Serius … kok jadi mikir mungkin perlu modul Simpus khusus, SIMPUS ANGSI… tujuan dikembangkannya adalah untuk manajemen ambulan desa, dimana data setiap ambulan desa dihubungkan dengan HPL bumil risti terdekat dari tiap wilayah kesiagaan. efeknya, kesiagaan sopir bisa di optimalkan bila terdeteksi bumil risti yang mau melahirkan, kalau perlu dilengkapi dengan perangkat GPS sehingga posisi terakhir Ambulan Desa bisa tampak di layar monitor, kemudian di sms untuk segera menjemput bumil risti di posisi sekian lintang bujur barat timur.. Ambulan berjalan dengan dituntun perangkat GPS tersebut sampai rumah bumil risti, lengkap dengan alternatif jalan pintas ke RS terdekat..hehehe malah ngelantur, tapi bisa jadi proyek gede, mudah-mudah ada yang menangkap ide ini 🙂

Langsung saja ceritanya nggih..

Alkisah.. ibu saya kebetulan seorang bidan, lulus dari Sekolah Bidan di Jebres, Solo tahun 1962, dan beliau mulai menetap sebagai bidan desa, semenjak perawan ting-ting di desa tercinta mulai tahun 1969, setelah sebelumnya bertugas di Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo. Kemudian bapak kebetulan perjaka tong-tong yang waktu itu caretaker kepala desa alias lurah sejak tahun 1969. Yang jelas daripada Bruno, desa saya lebih dekat ke tempat asal ibu di Pedan, sebelah timur Kabupaten Klaten. Nama Desaku, Kepurun, masuk wilayah kecamatan Manisrenggo, Kabupaten Klaten. Berbatasan dengan Kab. Sleman disebelah barat dan Kecamatan Kemalang disebelah utara. Waktu ibu pindah dari Bruno, suasana waktu masih dalam suasana panas, pasca peristiwa yang menggegerkan itu, dimana kondisi di wilayah saya sendiri memang benar-benar suasana perang. waktu itu banyak bidan menolak untuk ditempatkan di desa tercinta… maklum cukup terpencil, jalan jelek, daerah basis parpol tertentu, dan jangan ditanya kalau malam, sangat mencekam. Sebenarnya ibu sempat menolak ditempatkan di daerah ini. Hanya saja waktu itu terus didorong oleh saudara-saudara, kemudian juga oleh petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten, akhirnya ibu mau juga bertugas di daerah ini.

Ketika ibu pertama kali datang dan ketemu bapak, 17 Maret 1969, saat itu saja sudah cukup takut dengan suasana calon wilayah kerja, apalagi melihat sambutan dari pak lurah yang item, kecil, jelek (kata ibu), dekil (katanya ibu lagi) dan agak gaya (digagah-gagahin) ala koboi, bener2 lengkap dengan topi koboi dan menyandang pistol di pinggang (ini juga ceritanya ibu loh tapi waktu di konfirm ke bapak beliau cuma senyum bangga). Nah entah dengan jurus dan ilmu apa akhirnya pak lurah bujang akhirnya bisa meminang bu bidan lajang setelah 9 bulan… cerita romantisnya tidak perlu saya ceritakan… yang jelas sepertinya saat itu blm ada sms, email, atau kirim2an foto waktu itu, apalagi mejeng di friendster hehe.. tapi yang sangat pasti, bapak gak melamar sambil kirim puisi 🙂

Nah cerita mengerucut.. sebagai bidan, waktu itu ibu sering menghadapi kondisi dimana harus mengirim ibu hamil yang akan melahirkan dengan penyulit ke rumah sakit terdekat (dari Yogya atau Klaten jaraknya 28 km). dan mau tak mau ternyata justru konsep Desa Siaga yang sekarang di genjot dengan berbagai poster di puskesmas, sudah biasa dijalankan oleh bapak ibu (bahkan dari sebelum beliau berdua menikah). Tanpa perlu pencanangan, tanpa perlu pelatihan, sistem desa siaga bisa berjalan lancar. Penyebabnya ? Pertama, jelas ada untungnya pak lurah dapat istri bu bidan. setiap saat butuh, bisa langsung kontek, langsung berangkat. (Maaf bukan berarti menyarankan semua lurah menikahi bidan desa). Yang kedua untungnya juga, kebetulan ada kendaraan yang bisa dipakai buat mengirim ibu hamil.

Sekarang lebih fokus lagi ke kendaraannya. Jangan bayangkan bapak dulu lurah di desa terpencil terus naik gerobak (seperti ditebak Mas Edy dari Tirtomoyo I Wonogiri) atau andong untuk nganter ibu sama bumil. Alhamdulillah Bapak dulu semasa menjabat sudah membawa mobil, bisa dibilang satu-satunya di wilayah kami (makanya bisa bergaya koboi).

Mobilnya sih tampangnya amburadul, jadul, pick up lagi.. biasa untuk ngangkut beras dari sawah ke rumah. Bahkan di awal bapak datang di desa, mobil itu sering dipakai untuk mengangkut tentara operasi pemberantasan. Tapi dengan mobil itulah berpuluh ibu hamil bisa dikirim ke rumah sakit dan bisa melahirkan dengan selamat. Maaf sampai lupa memberikan info merek hehe.. Mobil bapak Dodge tahun 1954, short chasis, model pick up, kalau penggemar mobil kuno bilang (maaf) Dodge Kambing Banci karena panjang bak nya yang nanggung. Saya samar-samar masih ingat waktu kecil kalau naik mobil itu, suaranya mantap, tenaganya kuat, dan dulu anak-anak dan pemuda kampung paling senang bantu ndorong kalau pas macet, karena habis itu pasti boleh ikut naik dan jalan-jalan sampai ke kecamatan, ikut nganter menggiling padi hehe… o iya untuk menyalakan mobil itu selain dengan di putar pakai engkol dari depan adalah dengan cara di dorong.

Ini penampakan Ambulan Desa Kepurun tahun 70 an. selain sebagai ambulan juga berfungsi untuk angkutan beras, buat jalan rame-rame pemuda kampung, kadang-kadang untuk bergaya pak Lurah

Ini penampakan Ambulan Desa Kepurun tahun 70 an. selain sebagai ambulan juga berfungsi untuk angkutan beras, buat jalan rame-rame pemuda kampung, kadang-kadang untuk bergaya pak Lurah

Banyak cerita mengenai Ambulan Desa kami yang pertama itu. Sampai kemarin malam waktu ibu bercerita waktu mengirim para bumil risti itu ke rumah sakit, ibu masih ingat beberapa ibu hamil yang dikirim waktu itu, dengan kondisinya, misalnya siapa yang sungsang, ari-ari di depan, ditunggu-tunggu gak segera keluar, dan macem-macem lagi. ya memang pernah ada yang kurang beruntung sih. berhubung jabang bayi ingin segera keluar, akhirnya lahir juga di atas mobil setelah digoyang kanan kiri jalan tak beraspal. kebetulan tetangga sendiri yang mengalami itu. Waktu itu kalau mengirim bumil ke rs, bumil ditaruh diatas tempat tidur tanpa kaki (kaki tempat tidur maksudnya), tentu dengan kasur di atasnya. Kebetulan mobil itu pernah ada tutup di belakangnya, dengan terpal. nah perjalanan waktu itu karena kondisi jalan yang masih “sangat jauh dari mulus” membutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk sampai ke RS Tegalyoso.

Salah satu ingatan terakhir yang masih jelas saya ingat dengan mobil tercinta itu adalah tahun 1976 itu ketika diajak bapak menjemput ibu yang melahirkan adik yang paling kecil di Prambanan. Saya ingat ketika itu naik di bak belakang, ingat ketika melihat ke bawah lewat lantai kayu yang sedikit bolong, ingat melihat debu dibelakang mobil yang mengepul, ingat ketika panas menyengat kepala ditutup kain selendang sama mbah putri, ingat ketika sampai di rumah (waktu itu kami sekeluarga nebeng tinggal di BKIA yang juga sekaligus jadi kantor kelurahan) disambut orang banyak…

hiks…mengharukan sekali sodara-sodara…gak kalah dengan sinetron kita apalagi kalau ditambah sampai di rumah ibu langsung menjahit sambil menempel koyo di kening nya 😀

Wedhus Besi Amerika ini aktif sampai sekitar akhir tahun 1976, sampai akhirnya bapak jengkel dan mem pensiunkan dengan tidak hormat sang mobil gara-gara rem blong mobil hampir mencelakakan anak laki-laki satu-satunya yang tersayang, yang lagi ngetik cerita di wordpres ini hehe… Akhirnya setelah peristiwa rem blong itu, mobil diparkir di garasi di sebelah kantor BKIA (saya bisa dibilang lahir, besar, main, makan, belajar di BKIA, Pustu, Puskesmas dan Dinas Kesehatan) dan ketika kami pindah ke rumah sendiri tahun 1979, beberapa tahun kemudian mobil itu menyusul untuk ‘ndongkrok’ dengan manisnya di kebun sebelah rumah, menjadi tempat naruh kayu bakar, menjadi tempat ayam bertelur, menjadi sarang tikus, kemudian lampu-lampu ilang karena diambil buat orang nyuluh (mencari belut dengan penerang lampu karbit), dan kadang-kadang menjadi sasaran kalau saya ‘sebel’ sama bapak. Maaf bukan sebel beneran, gak sreg saja. Ada beberapa gambar ketika Wedhus Besi Amerika (logo mobil Dodge adalah kepala kambing) itu ‘menderita’

Dodge tampak dari depan di tempat semedi nya...

Dodge tampak dari depan di tempat semedi nya...

Masa-masa suram Ambulans tercinta, jadi tempat ayam bertelur dan menetaskan ayam kecil. Ya bisa dibilang ayam melahirkan sih hehe

Masa-masa suram Ambulans Desa, jadi tempat ayam bertelur dan menetaskan ayam kecil. Ya bisa dibilang ayam melahirkan sih hehe.. masih ada hubungan dengan regenerasi makhluk Tuhan.

Bayangin saja mobil bobrok kayak gitu pernah ditawarin dengan Kijang untuk di tukar, langsung sama bapak dengan santainya di tolak, dibawain duit mau bayar cash, dengan senyum dijawab lagi gak butuh.. saya jadi ingat ketika SMA, tahun 89-90an, protes keras ke bapak buat mbuang mobil itu, bikin sepet mata kata saya..sodara-sodara mendukung, apalagi mimpi bisa naik Kijang yang waktu itu mulai ngetop. Waktu itu bapak hanya bilang, nilai mobil itu gak bisa dibeli dengan uang. pfffff…. dan akhirnya 28 tahun lamanya mobil itu mendekam di kebun sebelah rumah dengan penutup seadanya.

ah supaya cerita tidak melantur kemana mana, tempo tulisan dipercepat…

Baru beberapa tahun yang lalu, entah kenapa ada rasa sayang kembali ke mobil itu. Waktu itu ada kolektor mobil kuno yang bermaksud “memelihara” (istilah para kolektor kalau mau beli mobil kuno) mobil itu. Setelah ngobrol dengan bapak, melihat sayangnya bapak dengan Si Wedhus, eh beliau malah menawarkan mesin Dodge cadangannya untuk dipasang menggatikan mesin yang sudah lama macet. Dengan dana seadanya akhirnya saya coba renovasi juga. Ternyata tetap ada kepuasan didapat dari situ meskipun renovasi akhirnya macet di tengah jalan. Harap maklum, berapa sih penghasilan programer jalanan (kadang memang mrogram di jalan) kayak saya hehe.. biaya renovasi ternyata sangat mahal dan susah. Onderdil juga gak gampang. Tapi paling tidak saya bangga, masih ingat juga ketika saya mengiringi mobil itu pulang dari bengkel, beberapa orang yang dulu pernah naik mobil itu, ikut mendorong mobil itu, datang lagi untuk melihat lihat Si Wedhus..

Si Wedhus Amrik waktu pulang kembali ke rumah..

Si Wedhus Amrik waktu pulang kembali ke rumah..dah bisa jalan sendiri...

Tahun lalu bapak dan mobil itu masih bisa beberapa kali jalan keliling desa, mencoba mesin barunya yang wusss, merasakan mentul-mentul nya per daun karena belum dikasih shock absorber… hanya beberapa kilometer saja tapi sangat berkesan. Saya ingat betapa raut muka bapak bahagia dan bangga ketika mas Herman, spesialis elektrik mobil kami (satu-satunya yang bisa dan berani menyetir mobil keliling desa) membawa bapak berjalan-jalan keliling. Bapak sempat ketemu dan menyapa orang-orang desa yang pasti juga masih ingat ketika mobil itu berjalan-jalan dengan gagahnya, menengok sawah yang dulu jadi sawah bengkok (pelungguh, atau jatah untuk digarap lurah desa). Kondisi bapak setelah serangan jantung tidak memungkinkan saya membiarkan beliau menyetir sendiri Dodge kami.

Saya bahkan sempat kebablasan dengan membayangkan bisa touring keliling puskesmas dengan Dodge Kambing itu, presentasi di dinas kesehatan, menengok Simpus, mengupgrade Simpus, melatih Simpus KIA (nah.. sekarang ketemu hubungannya…) dijamin pasti banyak mbak dokter, mbak perawat dan mbak bidan yang melirik… hehehe .. melirik kasian maksudnya, hari gini pake mobil kayak gitu…

Tapi sayang, sekarang mobil kembali mendekam (dengan agak lebih berbahagia). Tempatnya lebih baik daripada di kebun, sambil menunggu uluran tangan dermawan membawa Kijang hehehe… meskipun maaf, kalaupun ada jawaban tetap sama. Sepertinya mobil ini lebih berharga menemani kami di rumah dengan ribuan kenangan yang ada. Kalaupun Si Wedhus Amerika ini tidak (belum) bisa menemani saya ke puskesmas, sekarang ada mobil lain yang menemani, meskipun sekarang juga lagi opname di bengkel. hehe.. harap maklum, mobil tua…

Sekarang, dikejar tayang program Simpus (buat ngumpulin modal lagi ke bengkel)membuat tidak ada waktu lagi untuk nongkrongin bengkel membenahi Ambulan Desa ku ini ..

Berharap ada yang jadi donatur ... tanpa syarat hehe..

kapan bisa jadi Ambulan Desa lagi ya? .. yang sudah sih, dipesan buat takbir keliling pas lebaran, kalau jadi ...

dan hari ini …

Jum’at 21 November 2008

acara yang sudah terencana sebenarnya gak ada beda seperti hari-hari sebelumnya.. ada puskesmas yang telpon printer di loket ngaco, ngeprint mau nya ke tengah melulu.. setelah itu melanjutkan janji ketemu pengelola simpus dan bu bidan di pelosok lereng gunung sana untuk membenahi data simpus dan mencoba memulai memasukkan data-data ke Simpus KIA.

acara pertama lancar, bahkan sangat lancar.. printer yg kemarin trobel, eh didatangi mbah dukun tersayang langsung sembuh sendiri tanpa disentuh.. berharap acara kedua lancar, segera saja menuju puskesmas berikutnya..

sampai puskesmas, jam 9 kurang 15 menit (8.45 WIB), berharap segera ketemu bu bidan, pelatihan, pulang, biar gak nabrak jumat an..eh ternyata yang dicari belum nongol semua. ditunggu bentar, ditelpon, pengelola simpus bahkan bilang gak datang ke puskesmas, titip data thok sama bu bidan.. ya udah akhirnya menanti bu bidan. jam 9.30 an, baru bu bidan manis datang dengan senyumnya (maaf kebalik, maksud saya bu bidan datang dengan senyum manisnya)…
setelah ber say hello (kalau ini tidak terbalik…) kami lantas segera ke ruang komputer untuk mulai ngadepin data. nah disitu bu bidan mulai cerita kenapa agak telat. ceritanya kurang lebih gini :
pagi-pagi dia dah dibangunin untuk menolong persalinan, yang menyedihkan, bayi nya lahir sungsang, dan sudah lahir selama 1,5 jam tanpa kehadiran bidan desa. waktu datang, kepala sang bayi masih berada di dalam sehingga sudah dalam keadaan meninggal. belum selesai menangani dan men-support si ibu, sudah ada lagi panggilan dari desa yang sama, ada kelahiran lagi yang harus di tolong, kali ini bayi bisa lahir selamat.

yang membuat saya merenung, adalah kenapa bu bidan desa yang bersangkutan bisa tidak di tempat. atau minimal bersiap-siap. alangkah baiknya kalau beliau tahu ada ibu hamil sungsang yang akan segera melahirkan (bu bidan yang menolong persalinan ini adalah bidan desa tetangga). dan siang, ketika bu bidan lapor ke kepala puskesmas, ada lagi info yang disampaikan…bumil tidak ketahuan riwayat pemeriksaan K4 nya, serta tidak punya buku KIA 😮

agak melongo serta prihatin juga mendengar bu bidan cerita. maklum biarpun anak bidan, ibu jarang bercerita kejadian seperti itu. ibu biasa cerita gimana prosedur persiapan bidan desa menghadapi bumil yang bersiap melahirkan. sering juga ibu cerita gimana ibu hapal bumil2 di seputar desa kami serta kondisi anak mereka ketika dilahirkan. ibu masih banyak ingat siapa saja anak di desa sekitar yang lahir sungsang, ibu-ibu yang hamil risti, siapa saja yang ibu kirim rujuk ke rumah sakit, dan banyak lagi. bahkan kadang2 kalau lagi jalan terus melewati satu rumah, kadang ibu beliau cerita.. “tuh dulu ibu nya melahirkan gini..anaknya gitu…” ibu kadang bercerita bagaimana terbebaninya kalau ada bumil yang belum terdata..

saya maklum, mungkin kondisi sekarang sudah banyak berbeda. tapi cerita bu bidan tadi membuat saya ikut tersentil, merenung dan melamun sesaat, apalagi ketika sesaat kemudian saya mulai mengajari beliau dan menunjukkan bagaimana satu perangkat lunak bisa membantu bidan desa dan puskesmas untuk memantau kondisi bumil di wilayah kerja. bagaimana suatu aplikasi bisa memetakan ibu hamil, menunjukkan kantong persalinan, menunjukkan kantong ibu hamil risti, bagaimana kalau konsep desa siaga dibantu dengan Simpus KIA untuk membuat persiapan dan peringatan dini bagi para bidan desa. dan lebih jauh lagi bagaimana kalau bu bidan desa bisa bekerja sama untuk saling mengingatkan dengan bu bidan lain dengan data yang ada…

senang rasanya melihat bu bidan sangat antusias melihat dan menjalankan Simpus KIA..banyak pertanyaan, banyak masukkan, dan beberapa evaluasi beliau berikan untuk Simpus KIA yang memang masih harus banyak disempurnakan. sungguh saya berharap lebih banyak lagi bidan seperti beliau, mau dan mampu mengenal Simpus KIA.

yang jelas, cerita langsung dari peristiwa pagi tadi membuat saya sadar …
bahwa saya bisa membantu bu bidan dan puskesmas melayani masyarakat dengan ilmu dan aplikasi yang saya buat, bahwa saya belum berbuat banyak dengan ilmu saya punya, bahwa masih panjang jalan yang harus saya jalani untuk itu, dan yang jelas masih banyak bu bidan yang harus saya temui..

dan hari ini saya sadar, saya belum apa-apa …