Kemarin, 20 Okt 08.
Ketika sedang asyik ngobrol dengan petugas Simpus Wonogiri I, Kabupaten Wonogiri, ada panggilan masuk. Saya liat dari salah satu kepala puskesmas memanggil, langsung saya angkat. Selanjutnya ada dialog kurang lebih seperti ini :
“Lagi neng ndi kamu Jok ?” (“Lagi dimana kamu Jok”)
“Di Wonogiri bu, nengok sama upgrade Simpus.. ada apa nggih ?”
“Ini ada orang lagi mau lihat Simpus mu, terus mau ambil output-output SImpus.. ethuk ra ? (Boleh nggak)?”
saya sempat gak bisa jawab beberapa saat, bingung mau senang, bangga, sedih, atau sebel.. kemudian saya bilang
“Maaf bu sepertinya sekarang saya gak ngijinin, mosok bolak balik seperti itu terus…”
eh ibu itu terus menjawab … “Nahhhh.. mbok ya gitu dari dulu, bolak balik diliat untuk di tiru kok yo diem saja. aku sendiri sudah bilang itu orang kalau aku mau ijin kamu dulu..”
“Dari mana bu sekarang yang lihat ?”
“Dari Jakarta..”
“Dah bu minta tolong kalau memang mau lihat dan ambil output Simpus, tolong supaya menghubungi saya saja bu, masak dulu dah mroyek kayak gitu sekarang mau lagi..”
“Yo wis… sini kamu omong sendiri sama ……… ”
selanjutnya beberapa obrolan dengan staf beliau yang juga tidak mungkin saya tulis namanya disini 🙂
Bapak-bapak ibu-ibu saudara-saudara sebangsa setanah air … saya tidak tahu apakah sikap saya salah ? Dulu saya bangga dan senang orang bisa melihat kemudian ikut mengembangkan Simpus seperti yang telah saya kembangkan. Saya merasa banyak teman untuk bersama-sama mengembangkan Simpus. Saya sendiri juga sering datang ke puskesmas atau dinas kesehatan yang telah mengembangkan Simpus terlebih dahulu, untuk belajar. Tapi saya tetap tahu diri untuk tidak menjiplak total apa yang saya pelajari dari mereka.
Simpus saya sendiri masih sangat sederhana, banyak program dan programer baru dengan kemampuan di atas kebisaan saya yang (ada teman saya bilang… ) jadul. Saya senang kalau memang niatnya mengembangkan Simpus dengan niat yang benar-benar membangun sistem informasi puskesmas, bukan (maaf) sekedar mengejar spj..
Mohon masukkan setelah membaca beberapa cerita berikut.
Beberapa waktu yang lalu, dinas kesehatan tempat ibu kepala puskesmas tadi nelpon memang sempat mengadakan proyek Simpus. Tender tahu-tahu sudah jalan, pemenangnya sebuah perusahaan Teknologi Informasi lokal. Ketika Simpus mulai dijalankan, kebetulan puskesmas tempat uji coba adalah pengguna Simpus saya. Uji coba berlangsung satu tahun lebih, tanpa hasil apapun kecuali untuk beberapa bulan puskesmas bisa mengakses Internet dengan gratis.. (itu salah satu hasil yang dipahami sebagai Simpus Online oleh rekanan tadi, Simpus online internet !).
Selanjutnya tanpa ijin saya, team programer mereka datang ke puskesmas ibu tadi, kemudian melihat Simpus, mencatat menu, rekapitulasi, tampilan, dan beberapa output Simpus termasuk pemetaan.
Hasilnya ? Simpus tetap gagal..beberapa nama rekapitulasi yang saya kembangkan saya lihat telah ada juga di Simpus mereka, tapi angkanya hanya nol, nol, dan nol…
Berikutnya saya dipanggil oleh staf Dinas Kesehatan, saya diminta untuk mengganti Simpus yang gagal dengan Simpus saya, dengan bertahap, dengan atas nama proyek Simpus tersebut..
Welehhhhhh… saya pusing juga dengan permintaan beliau. Bukan hanya masalah anggaran sudah turun atau belum, tetapi saya juga takut kalau ada sesuatu dengan proyek tersebut saya ikut kena, maklum nilainya jg sudah ratusan juta. Akhirnya dengan terpaksa saya menolak, kecuali ada surat resmi bahwa saya mengelola Simpus di Kabupaten itu tanpa ada ikatan dengan proyek terdahulu.
Kabar selanjutnya memang benar-benar suram. Simpus bisa dibilang gagal total, sementara di puskesmas yang menggunakan Simpus saya meskipun tertatih-tatih masih bisa berjalan. Satu puskesmas yang berpindah ke Simpus yang baru itu pun akhirnya juga macet total.
Memang akhirnya kegagalan proyek itu sampai juga ke instansi yang bertugas mengawasi.. cuma sekali lagi, tidak ada kelanjutan ataupun tindakan yang di ambil. Seorang staf puskesmas bilang kepada saya..
“Gak bakalan ditindak mas, yang mengerjakan proyek itu adiknya kepala yang memeriksa…”
hehehe…. saya cuma senyum pahit..
Dan sekarang, saya diberi lagi kabar bahwa akan ada lagi pengembangan Simpus, kali ini dengan pengembang dari Jakarta, kota yang serba Maha itu…
Dan sekarang, saya diberi tahu bahwa ada lagi yang ingin melihat Simpus untuk dijadikan contoh Simpus yang lebih baru…beberapa kali sebelumnya dari dinas yang bersangkutan juga sudah melihat dan membawa hasil output Simpus (nya Jojok).
Kejadian itu tidak hanya satu dua kali saya alami, dan tidak di satu dua daerah. beberapa kepala puskesmas pernah menyampaikan cerita juga, ketika ada proyek pengadaan di salah satu kabupaten, ada wakil dari dinas kesehatan itu membawa serta programer mereka, kemudian mencatat dan melihat semua output Simpus.. dan mereka juga tidak ‘kulon nuwun’ pada saya..
Saya harus gimana ya ??
a. Ijinkan saja sapa tahu dapat cipratan proyek hehe…
b. Ijinkan saja sapa tahu dapat pahala
c. Ijinkan saja, toh juga pernah belajar juga di puskesmas lain
d. Tolak saja, enak disana enek disini
e. Tolak saja, biar nyari bahan sendiri
f. Ndak tahu, ndak ada untung ruginya buat saya.
Silahkan memberikan pendapat yang lain…
Filed under: Dinas Kesehatan, Puskesmas, Simpus | Tagged: kisah proyek Simpus, Pengembangan Simpus, puskemas, Simpus, Wonogiri | 23 Comments »